Pemilihan umum calon presiden baru saja usai. Proses demokrasi yang diselenggarakan setiap empat tahun sekali ini memuat banyak cerita. Kandidat hanya ada dua. Satu dan dua. Masing-masing partai politik merapat membentuk koalisi untuk memenangkan suara rakyat. Setiap suara mengandung harapan untuk kehidupan yang bahagia. Harapan bangsa itu lah yang tidak mudah diwujudkan oleh seorang pemimpin.
Sosial media membuat semarak kampanye hingga ke level di luar batas. Masing-masing pendukung akan membagikan kebaikan, prestasi, pujian untuk capres jagoannya. Awalnya sih begitu. Lama-lama, berita buruk dan saling menjatuhkan bertebaran dimana-mana sampai membaca judulnya saja sudah malas. Ketika masuk ke facebook misalnya timeline penuh dengan postingan berkaitan dengan capres nomor 1. Masuk ke twitter, pendukung capres nomor 2 yang wara-wiri. Obrolan politik seputar mana yang lebih baik antara capres no.1 atau no.2 bisa berlangsung dimana saja, dari ruang meeting, rumah makan, hingga saat mengantri busway pun tak lepas dari promosi capres tertentu.
Dua adik bungsu saya yang menginjak usia 17 tahun sangat bersemangat menggunakan hak pilihnya. Yang saya bangga dari kedua adik saya, mereka sudah memilih capres sesuai dengan penilaian mereka sendiri. Tidak ada campur tangan dari orang tua siapa yang harus kamu pilih dan tidak termakan oleh kampanye busuk di media.
Berbeda dengan pileg, partisipasi pilpres meningkat. Saya datang ke TPS sekitar pukul 10.30, masih harus mengantri panjang. Waktu pemilihan caleg kemaren jam yang sama TPS sudah sepi. Kertas suara diberikan terbuka oleh panitia. Daripada suudzon apakah kertas suara cacat atau tidak lebih bagus dilihat dari awal secara terbuka kan. Masing-masing pemilih dipanggil sesuai nama yang tertera di surat undangan. Semoga pemimpin yang saya pilih jika terpilih bisa mengemban amanah seluruh rakyat Indonesia. Kunci kemajuan Indonesia terletak di tangan pemimpin yang jujur dan adil.
Saya kira setelah tanggal 9, kita akan selesai membahas politik. Rupanya tidak, isu penghitungan suara menjadi polemik. Real count vs Quick Count ? Alamak..kapan berakhirnya ini.
suasana tps
Sosial media membuat semarak kampanye hingga ke level di luar batas. Masing-masing pendukung akan membagikan kebaikan, prestasi, pujian untuk capres jagoannya. Awalnya sih begitu. Lama-lama, berita buruk dan saling menjatuhkan bertebaran dimana-mana sampai membaca judulnya saja sudah malas. Ketika masuk ke facebook misalnya timeline penuh dengan postingan berkaitan dengan capres nomor 1. Masuk ke twitter, pendukung capres nomor 2 yang wara-wiri. Obrolan politik seputar mana yang lebih baik antara capres no.1 atau no.2 bisa berlangsung dimana saja, dari ruang meeting, rumah makan, hingga saat mengantri busway pun tak lepas dari promosi capres tertentu.
Saya berusaha memahami kedua sudut pandang dari masing-masing pemilih. Walaupun sejak awal deklarasi capres saya sudah tahu saya akan memilih siapa. Dari kedua sisi memiliki keunggulan dan kelemahan dalam rekam jejak, program kerja dan visi misi. Namun hati sudah memilih dan tak goyah dengan kampanye lain. Teman saya mempromosikan capres idolanya begitu tahu saya mendukung capres satunya lagi. Gigih betul seperti menawarkan produk MLM. Semakin mendekati hari H pemilihan, kampanye-kampanye hitam semakin menjadi. Sumber berita yang tidak jelas dibagikan dan dikomentari beramai-ramai sementara benar atau tidaknya tidak ada yang tahu. Kadang saya sayangkan orang yang menyebarkan adalah orang yang saya kenal santun dan alim. Rasanya hampir ingin klik tombol unfriend tapi buat apa juga saya memutus silaturahmi hanya karena berbeda pilihan.
Dua adik bungsu saya yang menginjak usia 17 tahun sangat bersemangat menggunakan hak pilihnya. Yang saya bangga dari kedua adik saya, mereka sudah memilih capres sesuai dengan penilaian mereka sendiri. Tidak ada campur tangan dari orang tua siapa yang harus kamu pilih dan tidak termakan oleh kampanye busuk di media.
pose narsis dengan kelingking bertinta :p
Berbeda dengan pileg, partisipasi pilpres meningkat. Saya datang ke TPS sekitar pukul 10.30, masih harus mengantri panjang. Waktu pemilihan caleg kemaren jam yang sama TPS sudah sepi. Kertas suara diberikan terbuka oleh panitia. Daripada suudzon apakah kertas suara cacat atau tidak lebih bagus dilihat dari awal secara terbuka kan. Masing-masing pemilih dipanggil sesuai nama yang tertera di surat undangan. Semoga pemimpin yang saya pilih jika terpilih bisa mengemban amanah seluruh rakyat Indonesia. Kunci kemajuan Indonesia terletak di tangan pemimpin yang jujur dan adil.
Saya kira setelah tanggal 9, kita akan selesai membahas politik. Rupanya tidak, isu penghitungan suara menjadi polemik. Real count vs Quick Count ? Alamak..kapan berakhirnya ini.