Bus meninggalkan terminal Rawamangun sekitar pukul 14.00 wib. Lalu lintas tol dalam kota arah ke Grogol lancar, sebaliknya arah ke selatan Jakarta lebih padat. Bus melaju santai. Kalau kecepatan kayak gini kapan sampai Soloknya,lelet banget,pikir saya.
Kami sekeluarga dapat kursi di bagian depan,belakang bangku pak Sopir. Karena kapasitas penumpang tidak full,bangku belakang banyak yang kosong. Ayah sama Alam pindah ke bagian belakang. Saya dan Wiya menempati bangku kedua. Sementara Azar di belakang sopir persis. Dengan melihat ke arah jalan di depan,saya tidak terlalu mual. Duduk berdekatan dengan sopir dan kenek membuat saya agak terhibur. Keneknya, si Ajo, orangnya humoris. Ia ngobrol dengan anak muda yang duduk di bangku depan,dekat dengan kursi tempel kernet. Ketika ia berbicara saya jadi teringat lagu minang ,yang suka diputar oleh Ayah dulu, yang mengundang tawa pendengarnya. "Lai tau ang sifatnyo urang awak ko?. Iduang tu ka ateh. Klo yg marunduak tu urang jawa. Urang awak ko salero tinggi, makan nio nan lamak, lalok lamak, tu bini nan rancak". Makjleb juga ini omongan si Ajo. Walaupun bikin ketawa-tawa dia ngomong tapi omongannya tajam setajam silet.
Memasuki daerah Merak,bus berhenti di rumah makan. Banyak yang tidak puasa ,termasuk saya, karena perjalanan jauh tidak apa-apa puasa asal diganti. Di rumah makan Merak itu satu persatu datang bus Family Raya. Herannya bus-bus tersebut jauh lebih bagus dari yang saya tumpangi. 'Kan lai rancak bus wak tu',kata ayah. Bagus apanya lihat dari luar tampak memprihatinkan. Kurang lebih 1,5 jam berhenti di Merak, awak bus melakukan 'PM service' yaitu ganti ban. Baru sekitar jam 5 beranjak menuju pelabuhan Merak. Keluar dari tol Merak,bus sudah mulai mengantri. Dan dimulailah penantian yang penuh kesabaran.
8 jam! Bukan main menunggu untuk naik kapal ferry bisa selama itu. Awalnya ada handphone yang membunuh kebosanan tapi baterai terbatas hingga BB dan powerbank sudah mati. Alam dan Azar berbuka puasa di bus. Bus masuk ke antrian dermaga setelah 4 jam. Saya sudah senang saja karena kapal sudah keliatan dan bunyi klakson kapal terdengar nyaring. Dari pengeras suara petugas pelabuhan mengingatkan penumpang yang membawa mobil pribadi, motor, bus untuk bersabar. Hingga bus menempati baris paling depan ternyata tidak langsung naik. Kapal bongkar muat sekitar 45 menit. Yang masuk pertama-tama, motor. Wuih kayak semut aja motor-motor yang naik kapal. Kedua,mobil pribadi. Ketiga, truk muatan. Truk dibatasi dua unit saja. Lalu, baru bus yang naik. Setiap ferry hanya sekitar 5-6 bus sementara ada ratusan bus yang mengantri. Sudah di depan pintu kapal tapi belum boleh naik itu rasanya..... Bus baru naik kapal jam 02.30 dini hari. Alamaaaak.
Sebenarnya kalau engga rempong dengan bawaan ada cara cepatnya. Naik ferry nya via pejalan kaki, engga perlu ikut antri kendaraan. Naik ke atas ferry. Kami berjalan ke ruangan bisnis yang ada AC nya. Tempat duduk sudah penuh. Mau tak mau lesehan di lantai. 'Koran..koran',ada yang menjajakan koran untuk alas duduk. Berapa harganya? Rp. 2.000 saja. Semuanya ada harganya. Air panas buat nyeduh pop mie yang dibawa sendiri juga Rp. 2.000. Untuk duduk di ruangan bisnis ini ada tarifnya Rp 6.000. Yang memungut iuran adalah petugas berseragam dinhub. Saya bertanya-tanya apa ini retribusi resmi atau pungutan liar. Karena saat membayar,saya tanyakan karcis retribusi tanda kita bayar mana. Eh petugasnya pura-pura tak dengar. Jika memang retribusi harusnya ada karcis atau tanda bukti. Yasudah,anggap saja uang kebersihan deh. Penumpang yang beralas koran akhirnya tidur. Bergelimpangan disana-sini,space untuk jalan saja tidak ada. Saya tidak tahan kantuk karena tidak sepicing pun mata bisa terlelap di bus, ikutan tidur meringkuk. Ada rasa haru melihat semua yang mudik berdesak-desakan di ferry. Kondisi di ruang tunggu seperti di luar batas kenyamanan manusia normal. Namun semuanya melalui 'penderitaan' demi satu tujuan,mudik ke kampung halaman. Di bus hilang sudah rasa jijik, keringat dan bau muntah bercampur satu. Belum lagi kondisi bangku dan lantai bus yang sudah jelek aslinya bikin saya tidak betah. Mau gimana lagi? You get what you pay. Mau enak harus punya duit banyak untuk membeli kenyamanan.
Normalnya perjalanan dari Jakarta ke Solok, 1 hari 1 malam. Lama perjalanan jadi molor 48 jam. Berangkat hari Sabtu jam 2 sampai hari Senin jam 2. Bekal makanan udah habis. Leher pegel, pinggang sakit pokoknya badan sakit-sakit semua. Ada untungnya juga dapat bus jelek karena penumpang di jalan pasti mikir dua kali naik bus ini. Jadi masih banyak kursi kosong. Walaupun kondisi tersebut tidak menguntungkan sopir dan kenek, tidak ada uang tambahan. Salut juga dengan bus yang saya remehkan awalnya ini, tidak rusak di jalan. Sementara ada bus yang kelihatan bagus malah mogok. Hahaha.
Pemberhentian terakhir sebelum melanjutkan ke kota masing-masing di daerah Sumbar yaitu RM Umega Gunung Medan. Sudah dekat rumah! Solok masih 4 jam perjalanan lagi tapi hati sudah riang gembira. Sudah tidak bisa tidur. Hahaha. Setiap Km nya benar-benar dinikmati. Semakin banyak Km yang ditempuh, semakin dekat dengan rumah. Yeay!
Ujian dek zi mah, biaso naiak kapa tabang kini naik bus, kata Iniak pas sampai di rumah. (Ujian buat azi,biasa naik pesawat kini naik bus). Saya tidak pernah merasa Solok itu jauh dari Jakarta. Setelah melewati 48 jam perjalanan baru terasa jarak Jakarta-Solok jauh. Ya itu lah makna 'Kampuang nan jauah di mato tapi dakek di hati'. :)