Telepon sehabis sahur membuat panik rumah seketika. Telepon dari kampung yang mengabarkan ada kebakaran pasar. Info yang simpang siur bagian mana yang terbakar tidak jelas. Lalu, Ayah menelepon teman dan kerabat di kampung. Bagian pasar yang terbakar adalah toko buku yang terletak di bagian tengah. Jaraknya lima meter saja dari toko kami. Satu-satunya asset yang kami punya.
Tak lama berselang dari kebakaran tersebut tepatnya hari Minggu 3 Agustus. Saya heran mengapa Ayah pulang cepat dari pasar. Pasar Solok kebakaran lagi. Dan kali ini toko kami hangus terbakar. Saya terdiam. Lalu mencari berita tersebut di twitter. Saya follow social media Solok tapi tidak ada beritanya. Benar saya, foto bangunan yang terbakar adalah bagian pasar yang saya kenali. Blok yang terbakar adalah blok toko kami yang sebagian besar blok pakaian jadi. Saya kehabisan kata-kata. Dua kejadian dalam waktu yang berdekatan. Gimana bisa ?
“Habis semuanya dari depan ke belakang. Barang Om Erry engga ada yang keluar”,kata Iniak di telepon.
Kebakaran ini adalah kali kedua semenjak bangunan toko dua lantai tersebut dibangun. Kebakaran pertama pada tahun 2004. Lalu bangunan selesai dibangun kembali tahun 2006. Saya heran bangunan pasar utama yang notabene lebih uzur usianya masih aman-aman saja. Saya ingat sekali Ingin sekali percaya kebakaran tersebut disebabkan hal yang alamiah. Namanya musibah mau gimana lagi. Dari pengalaman mengalami kebakaran lainnya, pedagang tahu arahnya kemana. Ada proyek pengembangan, renovasi, dan sejumlah kebetulan yang aneh-aneh lainnya.
Kembali lagi dari awal tidak lah mudah. Modalnya untuk memperoleh lagi hak milik tidak sedikit. Nasib pedagang kecil sungguh memprihatinkan. Sekarang yang menjadi pikiran tidak cuma di Solok. Ayah mencemaskan kondisi Pasar Inpres Senen. Khawatir nasibnya menyusul blok A yang April kemarin hangus terbakar juga. Dengan pahit ayah berkata, “Nak..Jangan jadi pedagang”.